Ma Ma Se Ma Ma Sa Ma Ma Coo Sa

GE DIGITAL CAMERA

Aku bisa menertawakan mereka yang ahli mengeluh padahal lokasi kerjanya mungkin menjadi impian para perantau yang ingin merasakan nikmatnya video call dengan keluarga tanpa nyandet.

Bulan Agustus selalu mengingatkanku pada Agustus enam tahun lalu. Kali pertama menjejakkan kaki di Mamasa. Sebuah kabupaten muda yang dibentuk untuk memenuhi syarat minimum agar propinsi Sulawesi Barat dapat diresmikan. Teringat celetukan Mbak Endah dari Endah N Rhesa saat aku menyebut Mamasa di depannya, “wih keren, Mamasa, kayak yang di Wanna Be Startin’ Somethin-nya Michael Jackson, ma ma se ma ma sa ma ma coo sa”.

Tak pernah terbayang sebelumnya harus mengabdi di sebuah tempat, yang saat itu menurutku lebih cocok tetap menjadi sebuah kecamatan saja dibandingkan harus menjadi sebuah kabupaten. Lokasi remote di tengah pulau Sulawesi, dimana butuh 5-6 jam untuk mencapai kabupaten terdekat yaitu Polewali Mandar, yang hanya berjarak sekitar 90 kilometer. Bandingkan dengan perjalanan Malang-Surabaya yang berjarak hampir sama, saat itu dapat ditempuh dalam waktu 1,5 hingga 2 jam perjalanan saja.

Mamasa, jika pulau Sulawesi diibaratkan sebagai manusia, terletak di sekitar usus buntunya Sulawesi. Layaknya kontur geografis pulau Sulawesi, dimana perbedaan ketinggian cukup signifikan antara pesisirnya dengan dataran tingginya, Mamasa yang hanya berjarak 90 km dari Polewali Mandar terletak di ketinggian 2000 hingga 3074 meter¹, padahal Polewali Mandar sendiri berada di bibir pantai barat Sulawesi.

Di ketinggian tersebut, sudah jelas hawa dingin menjadi makanan sehari-hari warganya. Sebagai penduduk Kota Malang, yang terkenal akan kesejukannya, sejak tahun 1989 hingga 2007, aku merasa minder dengan warga Mamasa. Sebulan pertama di sana aku tidur menggunakan celana training panjang dan kaos kaki, tak lupa selimut tebal untuk membebat tubuh agar tidak kedinginan. Suatu hal yang tak pernah kulakukan di Malang. Ritual tidur seperti itu hanya pernah kulakukan saat merasakan syahdunya Ranu Kumbolo dan mistisnya Arcopodo.

2011 media sosial belum seramai sekarang. Kalopun sudah ramai, di Mamasa saat itu tak terlalu penting. Telkomsel, sebagai provider yang terkenal bisa diakses oleh seluruh perantau di manapun berada, nyatanya ndak bisa terlalu jumawa di Mamasa, meskipun memang benar hanya mereka yang bisa memberikan secercah sinyal di sana. Sinyal terbaik yang bisa diberikan mentok di Edge saat itu. Jangankan buat update status di aplikasi Blackberry Messenger, buat telepon aja harus nyari lokasi yang pas biar nggak mbrebet pas ngobrol. Tak lupa, sinyal itu akan hilang sehilang-hilangnya kalo pas ada pemadaman listrik.

Pertama kali menceritakan kondisi yang harus kuhadapi selama di Mamasa ke Mama via telepon, beliau hanya berpesan, “sing sabar yo, Mas”. Sambil bergetar. Lha aku ini dasarnya susah banget buat berlaku sentimentil, pas dipeseni gitu mau nggak mau ya sedikit trenyuh. Nggak sampe nangis sesenggukan, cuma hampir mbrebes mili. Yeeek, lanang kok cengeng.

Berbeda dengan Bapak ketika tahu aku ditempatkan di sana. Beliau langsung googling bagaimana kondisi terbaru Mamasa saat itu. Iya, Bapak memang orang yang logis dan sangat realistis. Alih-alih menguatkan, beliau “hanya” menjelaskan hikmah yang akan kupetik di kemudian hari. Pesan beliau saat itu begini, “awakmu bakal dadi wong seng ahli syukur, Mas, wes dideleh ndek nggen seng pucuk nggunung ngono iku, mben lek dipindah-pindah gak bakal kaget maneh. Enam tahun berlalu, dan benar, aku bersyukur pernah bekerja di Mamasa. Aku bisa menertawakan mereka yang ahli mengeluh padahal lokasi kerjanya mungkin menjadi impian para perantau yang ingin merasakan nikmatnya video call dengan keluarga tanpa nyandet.

Di Mamasa saat itu, kerinduan pada keluarga hanya bisa diobati dengan telepon. Tetapi seperti yang aku bilang di atas, kerinduan itu bisa saja terbentur dengan hilangnya sinyal saat listrik padam. Rekor terpanjang listrik padam yang pernah kualami adalah dua hari dua malam. Begitu listrik nyala, sinyal muncul, beberapa waktu kemudian Mama telpon dan berkata, “nang ndi, Mas? Awakmu gakpopo? Kok gak iso ditelpon rong dino?”. Kelihatan betul kekhawatiran beliau pada anak mbarep yang kerja jauh dari rumah ini. Kalo udah gitu, biasanya aku ijin ke atasan buat pulang beberapa hari. Bukan buat mengobati kekhawatiran Mama, tapi aku-lah yang butuh mengobati rinduku pada Mama.

Kembali ke pemadaman listrik, yang sudah jadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Mamasa saat itu. Bayangkan, bekerja di instansi pemerintah yang melayani masyarakat memakai peralatan elektronik tanpa adanya saluran listrik. Beruntung, di kabupaten kecil seperti Mamasa, tidak banyak masyarakat yang datang untuk meminta pelayanan ke kantor tiap harinya. Memang ada genset yang bisa dinyalakan di saat-saat seperti itu, tapi dengan harga bahan bakar yang bisa dua hingga tiga kali lipat dari harga normal, kok ya eman-eman kalo genset-nya harus dinyalakan hampir setiap hari. Ya, harga bahan bakar di sana bisa setinggi itu salah satunya karena pasokan yang tidak semudah di tempat lain. 90 kilometer dari Polewali Mandar ke Mamasa, saat itu hanya sekitar 10 kilometer yang berupa jalan aspal nan mulus. Selebihnya berupa jalan aspal yang berlubang dan jalan tanah bercampur pasir yang berubah jadi kolam jika hujan datang. Ditambah dengan tanjakan yang cukup curam, lengkaplah sudah rute tersebut jika dijadikan track kejuaraan trail tingkat nasional. Para pecinta olahraga lakik yang suka mencari jalan offroad tak perlu susah-susah mencari lagi, cukup lewati jalan poros tersebut niscaya adrenalin akan terpacu dengan aduhai.

Sekarang, kata seorang teman, Mamasa sudah sedikit lebih baik. Sinyal telepon selular sudah bisa dinikmati dengan cukup lancar guna mengobati rindu para pekerja rantau yang ingin berkomunikasi dengan keluarga. Tapi 5-6 jam perjalanan yang harus ditempuh dari sana untuk sampai ke Polewali Mandar, ataupun sebaliknya, ternyata masih saja sama, meskipun kalo kata Google Maps cukup ditempuh dalam 3 jam saja. Entah tentang pemadaman listriknya, aku belum bertanya.

Catatan: 1. Featured image meminjam dari sini. Tulisan (versi editor) pertama kali diunggah di sini.

One thought on “Ma Ma Se Ma Ma Sa Ma Ma Coo Sa

  1. wakakakak. di takengon juga pernah sinyal indosat ilang seminggu. trus ganti ke telkomsel. pernah suatu hari singgah di markas gam di pucuk bukit di sigli, ehh gak nyangka ada sinyal 1 si telkomsel, hebat euy

    Liked by 1 person

Leave a comment